Entah

23.58 sebut saja dewi 0 Comments

Kadang kita dipertemukan dalam keadaan yang sulit. Ketika arah kita sama tapi kita telah terlanjur memilih persimpangan jalan yang berbeda.

Harus bagaimana? Entah, sepertinya yang bisa dilakukan hanya mengikuti jalan yang ada, membiarkan mengalir saja, tampaknya itu akan lebih melegakan.

Hei, dibalik itu semua, arah kita sama, koordinat yang kita tuju juga sama, dan tampaknya isi otak kita sama. Penuh dengan ledakan-ledakan imaji, ide-ide gila yang menanti dijelmakan.

Aku mencintai (atau tepatnya menyukai) waktu yang kuhabiskan denganmu, walau belum berapa lama takdir mengenalkan aku dan kamu. Aku menikmati setiap detik yang berjalan di antara obrolan ringan kita.

Aku mencintai diksi-diksi yang kau pilih dan menikmati ketika diksi-diksi tersebut meluncur ringan dari bibirmu. Juga senyummu yang tersusun dari deretan gigi rapimu, semua menjelma indah di mataku.

Kau tahu? Beberapa musim yang lalu, aku selalu duduk sendiri di ruang yang orang-orang menyebutnya ruang rasa, tempat di mana orang-orang yang perasaannya tak bertuan menghabiskan waktu. Mereka yang tak pernah merasakan duduk manis di tempat tersebut tak akan benar-benar mengerti apa yang terjadi pada orang tersebut.

Yang mereka tahu, aku hanya duduk sendiri di kursi putih yang warnanya sudah memudar,padahal aku tak sendiri. Kursi kosong yang dibatasi meja mungil dari kursi yang kududuki itu ada bayanganku, yang kadang menjelma menjadi bayangannya. Ah, itu yang membuatku tak beranjak dari kursiku, membuatku tak berpindah dari perasaan-perasaan lalu, membuatku tak bisa melupakannya, dan semakin meradangkan luka.

Luka semakin meradang dan menjelma hampa, beberapa waktu setelahnya. Iya, hampa, aku merasa hampa.
Kau tahu apa itu hampa? Merasa tapi tak merasa. Mengerti tapi tak mengerti. Kosong.

Sampai beberapa waktu yang lalu,
Aku jatuh, bebas melayang-layang di langit-langit senja yang sephia, dan terperangkap dalam siluet bayangmu, hitam tapi meneduhkan.

Aku bisa merasakan lagi setelah aku jatuh padamu. Sakit, senang, dan apapun itu telah dapat kurasakan lagi.

Aku berwarna denganmu, tak lagi monochrome. Dan aku menyukai aku yang berwarna.

Tapi sepertinya takdir tak benar-benar berpihak pada kita.
Kita sudah saling menemukan takdir kita yang sepertinya sudah tak bisa berubah, kau menggandeng erat takdirmu dan aku terkatung-katung dengan takdirku. Aku tak tahu harus bagaimana dan menempatkan perasaanku seperti apa, perasaanku mendatar saat ingatan menyeretku pada takdirmu yang telah berjalan.

Ah, entah..

Beberapa orang membicarakan bahwa hanya doa yang bisa merubah takdir, jadi apakah aku harus memanjatkan doa dan berharap doa-doaku menjelma atasmu?
Sekali lagi entah,

Entah,

Aku tak lagi hampa, aku berwarna. Tapi aku gamang, kalau kau ingin tahu seperti apa rasanya gamang itu, coba pejamkan matamu dan bayangkan kau berdiri di ujung tebing tanpa berpegangan. Bagaimana rasanya? Aku merasa seperti itu.

Kalau kau belum juga bisa mengerti, sudahlah, suatu hari nanti pasti kau akan merasakan berdiri dalam kegamangan.

Entah,
Semoga Tuhan menjelmakan doa-doa yang terucap maupun tidak.



xxx


Salam, Biiip..biip..bipp

Dedew

You Might Also Like

0 komentar: