Lebaran

       Rasanya baru kemarin lebaran tahun lalu berlangsung, namun hari ini sudah satu syawal, lebaran datang lagi. Memang waktu sering kali berjalan begitu cepat, membawa perubahan serta perkembangan dalam hidup. Ingatan akan lebaran tahun lalu masih jelas terbayang, bersiap digantikan oleh momen tahun ini.
Allahu akbar Allahu akbar Allahuakbar
Lebaran kali ini syukurlah Allah masih memberi kesempatan untuk merasakan suasana malam takbiran di kursi yang sama seperti tahun-tahun yang lalu, di ruang tengah keluarga dan duduk bersama ibu bapak serta sibuk mempersiapkan rumah untuk menyambut esok hari.
Aktivitas di rumah masih tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, dan aku menyukai hal-hal tersebut. Ibu yang sibuk di dapur, menyiapkan toples-toples kue yang lantas bersamaku memasukkan kue-kue kering tersebut, dilanjutkan aku yang akan beranjak mengepel lantai dan ibu pasti akan menggoreng-goreng di dapur. Lain bapak, akan ribet sendiri mengurusi kursi, jendela dan perintilan-perintilan kecil rumah. Memang hanya bertiga, namun sangat indah.
Lebaran kali ini lebaran tahun kedua selama profesi, syukurlah Allah dan semesta selalu berpihak sehingga dua kali itu selalu bersamaan masuk departemen kecil yang tidak ada jaga malam, ditambah lagi tepat masuk minggu terakhir putaran, jadi libur dong.
Terkadang juga sedih kalau harus menengok ke rumah sakit dan mendapati teman-teman sejawat sesama koas harus menjalani departemen besar yang ada jadwal jaga malam sehingga tidak mendapatkan kesempatan untuk berlebaran bersama keluarga. Iri pernah sempat terlintas, karena pasti mereka memiliki kebesaran hati merelakan waktu berharga yang datangnya hanya sekali dalam setahun untuk berkumpul bersama keluarga. Yap, saya iri akan kebesaran hati teman-teman saya.
Bagi saya, lebaran saat ini memiliki makna yang berbeda dengan lebaran sewaktu saya masih kecil dan labil. Dahulu, bagi saya lebaran harus punya baju baru dan alas kaki serta mukena baru, syukurlah tak perlu waktu lama untuk menggeser paradigma saya tentang lebaran, hanya beberapa tahun setelah itu saya yang waktu itu masih kecil menjadi sadar, lebaran lebih dari sekedar baju baru, namun kebesaran hati untuk meminta maaf dan memaafkan. 
Awal mulanya dari saya menyaksikan beberapa tetangga saya yang kurang beruntung, jangankan untuk membeli baju baru, untuk hidup keseharian tetangga saya harus bekerja serabutan dan memang mengalami kesulitan yang bermakna sehingga terkadang mengandalkan bantuan dari sekitar. Saya seketika merasa egois karena pernah menuntut untuk dibelikan baju baru ketika lebaran, saat itu Ibu saya menyuruh saya untuk memberikan tambahan uang untuk membelikan baju baru anak tetangga tersebut. 
Hal tersebut membuat saya berpikir sampai beberapa hari, harusnya saya banyak bersyukur bukan banyak merengek. Alasan yang mungkin klasik, namun menurut saya ini titik balik. Tahun-tahun setelahnya, saya tidak pernah meminta baju baru kepada Ibu, kalaupun diberi saya terima dengan senang hati. 
Tidak terasa waktu berlalu sangat cepat, lebaran demi lebaran dan sampai di tahun ini, kalau tidak salah ini tahun ke empat belas saya merayakan idul fitri di usia saya yang sekarang sudah dua puluh empat tahun. Ah, Selamat idul fitri, maaf lahir batin atas segala khilaf kata ataupun perbuatan. 
Sekali lagi, selamat lebaran dan selamat menikmati rumah!


BWI, Lebaran 2016
(d.m)

Semalam dan Ragu.





Semalam bulan serupa mangkuk sereal favoritmu.
ah, besok aku ingin sarapan denganmu.
Semalam juga aku menghitung waktu, 
tenggelam dalam tik-tok jam yang merindu.

Aku ingin meneleponmu malam itu
sekedar mendengar suara merdumu.
Tapi rindu selalu beringsut malu,
Menciptakan ragu untuk maju.


(d.m.)
SDA,2016

Kau-Panggung, dan Bersetia.




;K.J


semesta berbisik, 
"jangan tinggalkan panggung.
kau, dan kakimu harus tetap berdiri tegak,
sorot lampu tak seharusnya membuatmu canggung"

lirikmu hampir sampai pada larik terakhir
bersetialah dalam setiap irama,
sebab pada lagu yang kau bawa
selalu ada titipan doa yang selalu mengalir.





p.s : sukses mas KJ, semesta memberkati.




SDA, 2016
(d.m)

Dalam Tidurmu






suatu pagi yang terlalu muda
titik-titik embun di dedaunan mulai menjelma
di mana sejuk air membasuh-sucikan hati, yang lantas membimbingku membisik pada bumi.

aku mengucap diam-diam, mengecup dalam-dalam dirimu dalam bait-bait kata yang meresah. 
bait-bait gaib yang didengar langit.

aku mengirimkan diam-diam dalam udara dingin malam, isyarat yang menghapus lelahmu.

dan pada fajar yang berpijar, semoga bisikan pada bumi diterima langit; semoga selamatmu selamat.


(dm.)
SUB, 2015 

Kenangan





Ada yang terasa nyeri ketika kebetulan perempuan itu menatap langit-langit kamar dalam waktu yang lama.

Apakah kenangan selalu terkenang?
Kenangan dengan mudah menyelinap dari manapun menghadapkan diri kedepan perempuan itu. Menembus celah-celah jeruji jendela, menyamar menjadi guling yang dia peluk dalam malam sepi, dan menjelma pahit dalam secangkir kopi pagi miliknya.

Apakah kenangan melekat erat dalam tubuh pemiliknya?
Perempuan itu percaya, mengenang hanya perihal membuang-buang waktu. Tak penting. Toh dia dengan cepat pasti akan lupa dengan kenangan yang sempat dia ciptakan.

Apakah kenangan secepat itu akan meninggalkan ruang pikir pemiliknya?
Purnama sudah singgah beberapa kali dan perempuan itu masih sama. Duduk di balik jendela yang sama, menatap langit yang menghitam di malam, sekalipun hanya mendung yang ada. 

Namun kenangan mengekal sangat hebat dalam setiap lekuk hidup perempuan itu, Kenangan mampu menciptakan bayang-bayang sesosok yang sempat tak jadi bayang-bayang untuk beberapa waktu.

Barangkali memang bayang-bayang lebih kekal daripada si empunya sendiri, 
serupa kenangan.

Menyoal Kau




MA,

Engkau menjadi arus dalam sungai yang mengalir deras dalam tubuhku setelah Desember, 
asing yang merubah rinai menjadi ricik.
Asing yang menjelma tak asing dalam denyut tiap detik nadiku, ah aku ingat dari hembus angin kau berujar bahwa kau benci menjadi asing, aku ingin tertawa setiap mengingatmu tak terima menjadi asing.
Kau tak benar-benar asing, tuan.
Kau ricik dalam sungai tubuhku, memberi suara dan warna dalam setiap alirannya.

Lain hari kau menjelma awan,
bergumpal selayaknya gula-gula kapas warna-warni yang begitu aku dambakan dalam masa kecilku.
Aku berdiri di bawahmu, mengikuti kemanapun engkau bergerak, sampai aku tiba di matamu,
ya, matamu pasar malam,
menghipnotisku, menuntun dalam keriuhan melesapkan biru yang menyelimuti.

Ya, kau arus dalam sungaiku, awan dalam hariku, gula-gula kapas dalam pasar malamku.
Kau bukan lagi asing,
masa kecilku terangkum dalam dirimu, 
aku menemukanku dalam dirimu.

Kau-aku




Aku mencari batas, dimana kau-aku tak lagi bias
Aku mencari nafas, dimana kau-aku menjadi luas
Aku mencari kau, 
dimana kau-aku menjadi kita.