Elegi Si Miskin

07.16 sebut saja dewi 0 Comments


Elegi Si Miskin

Udara semakin panas, menyengat ubun-ubun. Aroma keringat, rokok, parfum murahan sangat menyengat di hidung, membuat mual yang menciumnya. Raut wajah letih tergambar jelas dari kebanyakan orang yang berlalu-lalang di depanku.

Aku duduk di pojok terminal ini,dengan bau busuk yang menusuk hidung sudah menjadi makananku sehari-hari. Berulang kali aku menguap, bukan karena mengantuk, tapi mungkin karena oksigen di sudah tidak mau masuk ke otakku, otak si miskin yang kumal.

Semakin siang, keadaan terminal ini semakin ramai dengan berbagai jenis orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sesekali aku memperhatikan sambil menerka-nerka siapa nama orang yang lewat di depanku, juga apa yang membawa mereka sampai ke terminal ini. Dan kadang aku mengimajinasikan yang kulihat selama ini.

“Permisi Mas”, sapa seseorang kepadaku yang membuatku tersadar dari untaian pikiranku. “Toiletnya di mana ya?”, sambungnya.
“Oh, Bapak lurus ke depan, lalu belok ke kiri. Nah di situ ada toilet umum,” sahutku
“Makasih Mas”,

Tak kuhiraukan ucapan terima kasih dari orang tersebut, buat apa, toh hal itu tidak akan membuatku jadi kaya. Tapi mataku terus membuntuti punggung lelaki tersebut, dan kembali membayangkan bahwa lelaki tersebut adalah diriku. Alangkah gagahnya diriku, dengan kemeja putih dan dasi, sepatu mengkilat. Ahh, semua hanya permainan hidup.

Aku kembali mengamati orang-orang yang seolah-olah tak ingin kehabisan waktu. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang perempuan yang baru turun dari bus. Belum pernah kulihat makhluk secantik dia di terminal ini. Perawakannya tak begitu tinggi, tapi dia begitu cantik dan anggun.
“Oh Tuhan, kok ada ya makhluk seperti dia”, gumamku.

Perempuan itu masih terpaku di pinggir terminal. Pandangan matanya kosong, seolah tak bergairah lagi untuk meneruskan hidup. Sepertinya dia sedang didera banyak masalah. Sebenarnya aku berhasrat untuk menyapanya, namun apa dayaku, aku hanya seorang sampah terminal yang kumal, sementara dia begitu anggun, juga aku tak ingin menganggunya.

Rasa penasaranku atas apa yang terjadi pada dirinya akhirnya menyeretku dalam imaji panjangku. Di alam pikiranku, perempuan cantik itu bernama Mei. Dan ada satu hal yang menyeretnya ke kota ini, yaitu karena kekasihnya. Mulai kuciptakan seseorang yang dinantikannya dalam imajinasiku..

Aku membayangkan Mei yang telah benar-benar mencintai kekasihnya padahal dia terlupakan begitu saja karena kehadiran perempuan lain. Akhirnya Mei berusaha mempertahankan cinta yang dia punya, hingga akhirnya dia datang ke kota ini untuk mencari lelaki yang dia cintai.
Aku tertawa membayangkan semua itu. Sepertinya aku berbakat untuk menjadi penulis cerita, tapi aku tak pernah bisa melakukan semua itu, karena menulis saja aku tak becus.

Kembali ke Mei…
Kini perempuan itu duduk di kursi terminal yang mulai using termakan usia. Dia masih tetap terdiam. Beberapa saat kemudian di sisi lain seorang lelaki berwajah kalem tampak kebingungan mencari seseorang.
Sepertinya lelaki itulah kekasih Mei yang juga mencarinya. Yang akan menjelaskan bahwa hubungan mereka tak dapat berlanjut lagi.

Lelaki itu juga yang akan mengatakan, “Aku sangat mencintaimu Mei. Tapi inilah hidup yang penuh dengan pilihan. Dan kini aku telah memilih untuk mengikuti keputusan orang tuaku. Kuharap kau mau mengerti”,
Ah, ada-ada saja pikiranku ini. Mencoba menerka apa yang akan dikatakan lelaki itu kepada Mei. Aku tersenyum simpul.

Dan ketika pandanganku kembali ke arah Mei, lelaki itu telah berada di samping Mei. Mereka berdua terlibat sebuah dialog, yang entah apa yang dibahas.
Sungguh tepat apa yang kupikirkan, lelaki itu mencari Mei. Aku merasa sangat senang karena yang ada di imajiku benar adanya. Aku pun melanjutkan pikiran gilaku.
Kedua insan itu akan terlibat pertengkaran yang hebat. Mei menangis, lalu berlari pergi meninggalkan lelaki yang tak bergeming dari kursi terminal.

Belum selesai aku membayangkan, semua kembali terjadi. Keduanya terlibat pertengkaran, kata-kata yang terlontar dari Mei amat pedas, aku tak menyangka bahwa perempuan anggun itu bisa berkata kasar. Pandangan orang-orang di terminal tertuju pada keduanya. Kemudian tanpa melihat ke arah lelaki itu Mei langsung meninggalkan terminal yang sempat tegang karenanya.

Aku terkejut, kenapa pikiranku memegang kendali kejadian ini. Tapi entahlah, mungkin hanya sebuah kebetulan.
Lelaki itu kemudian berjalan gontai menuju ke kursi yang ada di dekatku. Dia terdiam. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di samping lelaki itu.

“Kenapa Mas? habis bertengkar sama pacar ya?’, aku mencoba membuka pembicaraan.
“Iya”, jawabnya singkat.

Karena aku merasa dia tak berhasrat untuk bicara, aku memutuskan untuk diam, dan tak melanjutkan pembicaraan. Namun dia melanjutkan jawabannya,
“Aku mencintainya. Tapi kedua orang tuaku telah menjodohkanku dengan perempuan lain, aku tak kuasa untuk menolaknya, karena ini permintaan terakhir almarhum Ayah”,
Sial, yang kupikirkan sedari tadi kembali benar. Aku menanggapi ceritanya dengan tersenyum. Sebenarnya aku ingin menanggapi lebih jauh, tapi aku takut dia tersinggung denganku si miskin yang mungkin dia pikir mencoba menguruinya.

Mungkin karena aku tak memberikan solusi, di berlalu begitu saja.
Siang berganti menjadi malam, perempuan-perempuan jalang dengan dandanan yang menor mulai turun ke jalan. Sementara pikiranku masih tertahan di siang hari, tertahan pada keadaan Mei. Kemanakah dia sekarang? Apa yang terjadi dengannya saat ini? Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku menjadi takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi. Tiba-tiba mataku tertuju pada  sekilas info berita pada salah satu stasiun televise lokal di kotaku.

“Seorang perempuan ditemukan tewas di lintasan kereta api sore ini. Diduga perempuan yang diketahui bernama Ameilia tersebut mengalami depresi dan sengaja menabrakkan diri pada kereta yang yang tengah lewat…”,

Sesaat aku tertegun mendengar berita tersebut. Kemudian aku tersenyum getir. Aku merasa malu pada Tuhan yang mencomot sebagian ide yang ada di benakku, lalu menjadikannya nyata. Aku merasa menjadi seorang miskin yang kurang ajar, yang bermain-main dengan pikiran.

Aku menghela napas panjang. Mencoba mencerna yang ada. Namun tak pernah bisa, karena aku seorang miskin yang tak berpendidikan Aku memegang elegi hidup si Mei di atas elegi hidupku yang berantakan dan busuk. Sungguh sebuah lelucon kehidupan. Yang memaksaku menertawakan hidup dan diriku sendiri.



'Maron, suatu hari'


You Might Also Like

    0 komentar: