Elegi Si Miskin
Elegi
Si Miskin
Udara semakin panas, menyengat
ubun-ubun. Aroma keringat, rokok, parfum murahan sangat menyengat di hidung,
membuat mual yang menciumnya. Raut wajah letih tergambar jelas dari kebanyakan
orang yang berlalu-lalang di depanku.
Aku duduk di pojok terminal ini,dengan
bau busuk yang menusuk hidung sudah menjadi makananku sehari-hari. Berulang
kali aku menguap, bukan karena mengantuk, tapi mungkin karena oksigen di sudah
tidak mau masuk ke otakku, otak si miskin yang kumal.
Semakin siang, keadaan terminal ini
semakin ramai dengan berbagai jenis orang yang sibuk dengan urusannya
masing-masing. Sesekali aku memperhatikan sambil menerka-nerka siapa nama orang
yang lewat di depanku, juga apa yang membawa mereka sampai ke terminal ini. Dan
kadang aku mengimajinasikan yang kulihat selama ini.
“Permisi Mas”, sapa seseorang kepadaku
yang membuatku tersadar dari untaian pikiranku. “Toiletnya di mana ya?”,
sambungnya.
“Oh, Bapak lurus ke depan, lalu belok ke
kiri. Nah di situ ada toilet umum,” sahutku
“Makasih Mas”,
Tak kuhiraukan ucapan terima kasih dari
orang tersebut, buat apa, toh hal itu tidak akan membuatku jadi kaya. Tapi
mataku terus membuntuti punggung lelaki tersebut, dan kembali membayangkan
bahwa lelaki tersebut adalah diriku. Alangkah gagahnya diriku, dengan kemeja
putih dan dasi, sepatu mengkilat. Ahh, semua hanya permainan hidup.
Aku kembali mengamati orang-orang yang
seolah-olah tak ingin kehabisan waktu. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang
perempuan yang baru turun dari bus. Belum pernah kulihat makhluk secantik dia
di terminal ini. Perawakannya tak begitu tinggi, tapi dia begitu cantik dan
anggun.
“Oh Tuhan, kok ada ya makhluk seperti
dia”, gumamku.
Perempuan itu masih terpaku di pinggir
terminal. Pandangan matanya kosong, seolah tak bergairah lagi untuk meneruskan
hidup. Sepertinya dia sedang didera banyak masalah. Sebenarnya aku berhasrat
untuk menyapanya, namun apa dayaku, aku hanya seorang sampah terminal yang
kumal, sementara dia begitu anggun, juga aku tak ingin menganggunya.
Rasa penasaranku atas apa yang terjadi
pada dirinya akhirnya menyeretku dalam imaji panjangku. Di alam pikiranku,
perempuan cantik itu bernama Mei. Dan ada satu hal yang menyeretnya ke kota
ini, yaitu karena kekasihnya. Mulai kuciptakan seseorang yang dinantikannya
dalam imajinasiku..
Aku membayangkan Mei yang telah
benar-benar mencintai kekasihnya padahal dia terlupakan begitu saja karena
kehadiran perempuan lain. Akhirnya Mei berusaha mempertahankan cinta yang dia
punya, hingga akhirnya dia datang ke kota ini untuk mencari lelaki yang dia
cintai.
Aku tertawa membayangkan semua itu.
Sepertinya aku berbakat untuk menjadi penulis cerita, tapi aku tak pernah bisa
melakukan semua itu, karena menulis saja aku tak becus.
Kembali ke Mei…
Kini perempuan itu duduk di kursi
terminal yang mulai using termakan usia. Dia masih tetap terdiam. Beberapa saat
kemudian di sisi lain seorang lelaki berwajah kalem tampak kebingungan mencari
seseorang.
Sepertinya lelaki itulah kekasih Mei
yang juga mencarinya. Yang akan menjelaskan bahwa hubungan mereka tak dapat
berlanjut lagi.
Lelaki itu juga yang akan mengatakan,
“Aku sangat mencintaimu Mei. Tapi inilah hidup yang penuh dengan pilihan. Dan
kini aku telah memilih untuk mengikuti keputusan orang tuaku. Kuharap kau mau
mengerti”,
Ah, ada-ada saja pikiranku ini. Mencoba
menerka apa yang akan dikatakan lelaki itu kepada Mei. Aku tersenyum simpul.
Dan ketika pandanganku kembali ke arah
Mei, lelaki itu telah berada di samping Mei. Mereka berdua terlibat sebuah
dialog, yang entah apa yang dibahas.
Sungguh tepat apa yang kupikirkan,
lelaki itu mencari Mei. Aku merasa sangat senang karena yang ada di imajiku
benar adanya. Aku pun melanjutkan pikiran gilaku.
Kedua insan itu akan terlibat
pertengkaran yang hebat. Mei menangis, lalu berlari pergi meninggalkan lelaki
yang tak bergeming dari kursi terminal.
Belum selesai aku membayangkan, semua
kembali terjadi. Keduanya terlibat pertengkaran, kata-kata yang terlontar dari
Mei amat pedas, aku tak menyangka bahwa perempuan anggun itu bisa berkata
kasar. Pandangan orang-orang di terminal tertuju pada keduanya. Kemudian tanpa
melihat ke arah lelaki itu Mei langsung meninggalkan terminal yang sempat
tegang karenanya.
Aku terkejut, kenapa pikiranku memegang
kendali kejadian ini. Tapi entahlah, mungkin hanya sebuah kebetulan.
Lelaki itu kemudian berjalan gontai
menuju ke kursi yang ada di dekatku. Dia terdiam. Akhirnya aku memutuskan untuk
duduk di samping lelaki itu.
“Kenapa Mas? habis bertengkar sama pacar
ya?’, aku mencoba membuka pembicaraan.
“Iya”, jawabnya singkat.
Karena aku merasa dia tak berhasrat
untuk bicara, aku memutuskan untuk diam, dan tak melanjutkan pembicaraan. Namun
dia melanjutkan jawabannya,
“Aku mencintainya. Tapi kedua orang
tuaku telah menjodohkanku dengan perempuan lain, aku tak kuasa untuk
menolaknya, karena ini permintaan terakhir almarhum Ayah”,
Sial, yang kupikirkan sedari tadi
kembali benar. Aku menanggapi ceritanya dengan tersenyum. Sebenarnya aku ingin
menanggapi lebih jauh, tapi aku takut dia tersinggung denganku si miskin yang
mungkin dia pikir mencoba menguruinya.
Mungkin karena aku tak memberikan
solusi, di berlalu begitu saja.
Siang berganti menjadi malam,
perempuan-perempuan jalang dengan dandanan yang menor mulai turun ke jalan.
Sementara pikiranku masih tertahan di siang hari, tertahan pada keadaan Mei. Kemanakah
dia sekarang? Apa yang terjadi dengannya saat ini? Aku khawatir sesuatu yang
buruk terjadi padanya. Aku menjadi takut untuk membayangkan apa yang akan
terjadi. Tiba-tiba mataku tertuju pada
sekilas info berita pada salah satu stasiun televise lokal di kotaku.
“Seorang perempuan ditemukan tewas di
lintasan kereta api sore ini. Diduga perempuan yang diketahui bernama Ameilia
tersebut mengalami depresi dan sengaja menabrakkan diri pada kereta yang yang
tengah lewat…”,
Sesaat aku tertegun mendengar berita
tersebut. Kemudian aku tersenyum getir. Aku merasa malu pada Tuhan yang
mencomot sebagian ide yang ada di benakku, lalu menjadikannya nyata. Aku merasa
menjadi seorang miskin yang kurang ajar, yang bermain-main dengan pikiran.
Aku menghela napas panjang. Mencoba
mencerna yang ada. Namun tak pernah bisa, karena aku seorang miskin yang tak
berpendidikan Aku memegang elegi hidup si Mei di atas elegi hidupku yang
berantakan dan busuk. Sungguh sebuah lelucon kehidupan. Yang memaksaku
menertawakan hidup dan diriku sendiri.
'Maron, suatu hari'
0 komentar:
Posting Komentar