Sepotong Mimpi
Kulirik jam yang tergantung dingin di dinding kamarku. Sudah lewat
tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur, dan berharap tidurku benar-benar
lelap walau sebentar.
Tiba-tiba tubuhku terhenyak bangkit dari pembaringan dan terjaga
dari lelapku. Terakhir aku ingat mimpi yang baru saja membuatku terjaga, Sebuah
cahaya besar berpendar putih cemerlang kebiru-biruan melesat menabrak wajahku,
membuatku kaget. Aku menyeka wajahku dengan kedua telapak tangan sambil
beringsut duduk di tepi tempat tidur, betapa kaget ketika ekor mataku menangkap
ada sosok yang masih berbaring di tempat tidur dimana aku terlelap,
keterkejutanku membuat aku bangkit dan menjauhi tempat tidur beberapa langkah.
Dengan sangat perlahan dan rasa tak percaya aku mencoba menajamkan tatapan
mataku pada sosok yang terlelap pulas itu. Dari ujung rambut sampai jempol
kaki, hingga aku mendekati tempat tidur lagi dan begitu dekat menatap raut
wajah itu.
“Bukannya aku telah
bangun?”, gumamku, ”Siapa yang berbaring di kasurku?”,
Aku mundur beberapa langkah dari
tempatku semula, namun tetap kutatap tubuh yang terbaring pulas situ. Dia itu
benar-benar diriku. Aku masih ingat betapa letihnya diriku ketika aku akan
berangkat tidur. Dan senantiasa menjelang tidur aku
selalu menyebut kebesaran-Nya dalam keletihanku. Siapa lagi yang bisa yang
mengetahui keletihan hati dan pikiran kalau tidak yang Maha Mengetahui?
Batinku
bertanya-tanya ketika aku mencoba menyadari keberadaanku dengan menatap diriku
saat ini. Tidak begitu banyak beda dengan 'sosok' yang tertidur di tempat
tidur, pakaian yang aku kenakanpun sama persis. Hanya, aku menyadari setelah
mataku menangkap sesuatu yang membuat aku menatap dengan takjub, sebuah cahaya yang
berpendar disekujur permukaan tubuhku, cahaya tipis yang berkilauan yang
membuatku entah harus merasa takut atau terpesona.
"Apa
yang terjadi denganku?" ucapku dengan rasa gamang yang merayapi batin. Aku
berjalan mendekati pintu kemudian mencoba meraih gagangnya, tapi jemari
tanganku terlanjur menyentuh daun pintu kayu kamarku dan menembus keluar, rasa
takjub kembali merayapi hati ketika daun pintu kayu itu terasa begitu lembut
tertembus oleh telapak tanganku dan separuh lengan kananku. Lalu aku berjalan
menembus pintu kamarku, terasa papan kayu itu seperti agar-agar tertembus sekujur
tubuh. Telapak kakiku yang telanjang membawaku ke ruang tamu. Malam begitu
sunyi dan dingin membuat seisi rumah terlelap di balik selimut. Aku duduk di
sofa panjang didekat jendela masih merenungi kejadian janggal yang sedang aku
alami.
Tiba-tiba Ibu keluar
dari kamar, dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
“Ibu, Ibu…”, panggilku. Namun tiada
sedikitpun Ibu menoleh padaku, dia terus berlalu kembali ke kamar. Padahal aku
ingin bicara, ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku, tapi tampaknya
Ibu tak mendengarku, mungkin Ibu kelelahan karena beberapa hari ini pesanan kue
dari pelanggan Ibu sangat banyak.
Tiba-tiba benakku
melayang kepada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika aku, bapak dan ibu
tinggal bahagia di rumah mungil ini. Kulihat wajah ibu masih terlihat cantik
dan segar walaupun usianya sudah hampir setengah abad lebih. Sementara bapak, seorang yang kasar, dan
arogan, suka memaksakan kehendak dirinya pada anak istrinya tanpa melihat bagaimana
kondisi keduanya. Ibu yang penurut selalu mengikuti apa yang dikehendaki bapak,
walaupun bertentangan dengan hatinya.
Sampai pada suatu
hari. Sudah lewat tengah malam, tapi ibu masih terjaga. Dan ketika aku bertanya
ternyata beliau menunggu bapak yang masih belum juga pulang. Aku memandang ibu
yang di wajahnya mulai menua.
“Sudahlah, kamu tidur
saja. Bapak lembur di kantor, mungkin sebentar lagi juga pulang”,
Tanpa berkata sepatah
kata pun aku berjalan masuk ke kamar. Di dalam kamar aku tak bisa memejamkan
mata. Hingga aku sayup-sayup terdengar suara motor bapak memasuki halaman.
“Kenapa Ibu masih
terjaga?,” Tanya bapak yang sedikit terkejut karena Ibu membuka pintu depan.
“Ibu menunggu Bapak”,
jawab ibu lirih.
“Lain kali tak usah
menungguku. Aku ini bukan anak kecil yang perlu dinanti!,” nada bicara Bapak
semakin meninggi.
“Tapi Pak, Ibu
khawatir dengan keadaan Bapak yang selalu pulang malam. Toh Bapak sudah tak
butuh kehadiran ibu”,
Kututup kedua
telingaku dengan bantal, dan berusaha untuk tidak mendengar tangisan ibu dan
apa yang selanjutnya dikatakan oleh bapak.
Intinya malam itu
adalah pertengkaran terakhir mereka, yang berujung pada perpisahan. Saat itu
aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Dan kini ketika telah beranjak
dewasa aku mulai mengerti kenapa bapak tak pernah lagi tinggal serumah denganku
dan ibu, namun bapak lebih memilih tinggal dengan seseorang yang selama ini
menyebabkan terjadinya perpisahan itu
Aku menghela napas
panjang, mencoba mengubur memori buruk yang pernah melukaiku dan ibuku. Dan
dari hal ini kebencianku kepada bapak mulai tertanam. Aku tak ingin ibu
terlukai oleh siapapun. Aku berjanji akan membalas orang-orang yang pernah
menyakiti ibu, termasuk bapak.
Tiba-tiba ada yang
menyeretku, hingga kini aku sudah berada di dalam sebuah kamar. Kulihat wajah
bapak yang selama ini kurindukan juga yang selama ini kubenci tampak damai
dalam tidurnya.
Kupandangi dalam-dalam sosok lelaki yang
pernah menelantarkan ibuku tercinta, kebencianku semakin memuncak. Hingga
akhirnya iblis berhasil menjeratku untuk membalas semuanya. Kulirik sebilah
pisau yang terletak di meja sebelah ranjang. Aku mulai bernafsu untuk melakukan
semuanya, mungkin dengan semua ini sakit hati ibu akan terobati.
Ketika ku arahkan
pisau itu ke jantung bapak, ada sesuatu menarik tanganku dengan kuat yang
membuatku terseret begitu cepat hingga kembali
menembus atap rumahku dan terhempas di tempat tidur. Aku terperangah, terduduk
di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar.
"Mimpi apa lagi, Bagas?" Terdengar suara wanita yang tak
asing lagi di telinga, suara yang senantiasa membangunkan aku setiap pagi. Aku
menoleh ke kanan. Aku lihat ibu melipati baju-baju kotorku yang bergantungan
lalu dimasukkan ke keranjang cucian.
"Bangun sana, mandi terus anterin Ibu ke pasar. Nanti keburu
siang jalanan macet," tambahnya.
Jarum jam telah menunjuk pukul lima tiga puluh pagi. Kubuka
tanganku yang tergenggam, ada sebilah pisau tergeletak di telapakku. Aku terheran-heran
menatapi langit-langit kamar.
0 komentar:
Posting Komentar