Sepotong Mimpi

07.34 sebut saja dewi 0 Comments



Kulirik jam yang tergantung dingin di dinding kamarku. Sudah lewat tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur, dan berharap tidurku benar-benar lelap walau sebentar.
Tiba-tiba tubuhku terhenyak bangkit dari pembaringan dan terjaga dari lelapku. Terakhir aku ingat mimpi yang baru saja membuatku terjaga, Sebuah cahaya besar berpendar putih cemerlang kebiru-biruan melesat menabrak wajahku, membuatku kaget. Aku menyeka wajahku dengan kedua telapak tangan sambil beringsut duduk di tepi tempat tidur, betapa kaget ketika ekor mataku menangkap ada sosok yang masih berbaring di tempat tidur dimana aku terlelap, keterkejutanku membuat aku bangkit dan menjauhi tempat tidur beberapa langkah. Dengan sangat perlahan dan rasa tak percaya aku mencoba menajamkan tatapan mataku pada sosok yang terlelap pulas itu. Dari ujung rambut sampai jempol kaki, hingga aku mendekati tempat tidur lagi dan begitu dekat menatap raut wajah itu.
“Bukannya aku telah bangun?”, gumamku, ”Siapa yang berbaring di kasurku?”,
Aku mundur beberapa langkah dari tempatku semula, namun tetap kutatap tubuh yang terbaring pulas situ. Dia itu benar-benar diriku. Aku masih ingat betapa letihnya diriku ketika aku akan berangkat tidur. Dan senantiasa menjelang tidur aku selalu menyebut kebesaran-Nya dalam keletihanku. Siapa lagi yang bisa yang mengetahui keletihan hati dan pikiran kalau tidak yang Maha Mengetahui?
Batinku bertanya-tanya ketika aku mencoba menyadari keberadaanku dengan menatap diriku saat ini. Tidak begitu banyak beda dengan 'sosok' yang tertidur di tempat tidur, pakaian yang aku kenakanpun sama persis. Hanya, aku menyadari setelah mataku menangkap sesuatu yang membuat aku menatap dengan takjub, sebuah cahaya yang berpendar disekujur permukaan tubuhku, cahaya tipis yang berkilauan yang membuatku entah harus merasa takut atau terpesona.
"Apa yang terjadi denganku?" ucapku dengan rasa gamang yang merayapi batin. Aku berjalan mendekati pintu kemudian mencoba meraih gagangnya, tapi jemari tanganku terlanjur menyentuh daun pintu kayu kamarku dan menembus keluar, rasa takjub kembali merayapi hati ketika daun pintu kayu itu terasa begitu lembut tertembus oleh telapak tanganku dan separuh lengan kananku. Lalu aku berjalan menembus pintu kamarku, terasa papan kayu itu seperti agar-agar tertembus sekujur tubuh. Telapak kakiku yang telanjang membawaku ke ruang tamu. Malam begitu sunyi dan dingin membuat seisi rumah terlelap di balik selimut. Aku duduk di sofa panjang didekat jendela masih merenungi kejadian janggal yang sedang aku alami.
Tiba-tiba Ibu keluar dari kamar, dan melangkahkan kakinya menuju dapur.
“Ibu, Ibu…”, panggilku. Namun tiada sedikitpun Ibu menoleh padaku, dia terus berlalu kembali ke kamar. Padahal aku ingin bicara, ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku, tapi tampaknya Ibu tak mendengarku, mungkin Ibu kelelahan karena beberapa hari ini pesanan kue dari pelanggan Ibu sangat banyak.
Tiba-tiba benakku melayang kepada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika aku, bapak dan ibu tinggal bahagia di rumah mungil ini. Kulihat wajah ibu masih terlihat cantik dan segar walaupun usianya sudah hampir setengah abad lebih.  Sementara bapak, seorang yang kasar, dan arogan, suka memaksakan kehendak dirinya pada anak istrinya tanpa melihat bagaimana kondisi keduanya. Ibu yang penurut selalu mengikuti apa yang dikehendaki bapak, walaupun bertentangan dengan hatinya.
Sampai pada suatu hari. Sudah lewat tengah malam, tapi ibu masih terjaga. Dan ketika aku bertanya ternyata beliau menunggu bapak yang masih belum juga pulang. Aku memandang ibu yang di wajahnya mulai menua.
“Sudahlah, kamu tidur saja. Bapak lembur di kantor, mungkin sebentar lagi juga pulang”,
Tanpa berkata sepatah kata pun aku berjalan masuk ke kamar. Di dalam kamar aku tak bisa memejamkan mata. Hingga aku sayup-sayup terdengar suara motor bapak memasuki halaman.
“Kenapa Ibu masih terjaga?,” Tanya bapak yang sedikit terkejut karena Ibu membuka pintu depan.
“Ibu menunggu Bapak”, jawab ibu lirih.
“Lain kali tak usah menungguku. Aku ini bukan anak kecil yang perlu dinanti!,” nada bicara Bapak semakin meninggi.
“Tapi Pak, Ibu khawatir dengan keadaan Bapak yang selalu pulang malam. Toh Bapak sudah tak butuh kehadiran ibu”,
Kututup kedua telingaku dengan bantal, dan berusaha untuk tidak mendengar tangisan ibu dan apa yang selanjutnya dikatakan oleh bapak.
Intinya malam itu adalah pertengkaran terakhir mereka, yang berujung pada perpisahan. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya. Dan kini ketika telah beranjak dewasa aku mulai mengerti kenapa bapak tak pernah lagi tinggal serumah denganku dan ibu, namun bapak lebih memilih tinggal dengan seseorang yang selama ini menyebabkan terjadinya perpisahan itu
Aku menghela napas panjang, mencoba mengubur memori buruk yang pernah melukaiku dan ibuku. Dan dari hal ini kebencianku kepada bapak mulai tertanam. Aku tak ingin ibu terlukai oleh siapapun. Aku berjanji akan membalas orang-orang yang pernah menyakiti ibu, termasuk  bapak.
Tiba-tiba ada yang menyeretku, hingga kini aku sudah berada di dalam sebuah kamar. Kulihat wajah bapak yang selama ini kurindukan juga yang selama ini kubenci tampak damai dalam tidurnya.
 Kupandangi dalam-dalam sosok lelaki yang pernah menelantarkan ibuku tercinta, kebencianku semakin memuncak. Hingga akhirnya iblis berhasil menjeratku untuk membalas semuanya. Kulirik sebilah pisau yang terletak di meja sebelah ranjang. Aku mulai bernafsu untuk melakukan semuanya, mungkin dengan semua ini sakit hati ibu akan terobati.
Ketika ku arahkan pisau itu ke jantung bapak, ada sesuatu menarik tanganku dengan kuat yang membuatku terseret begitu cepat hingga kembali menembus atap rumahku dan terhempas di tempat tidur. Aku terperangah, terduduk di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar.
"Mimpi apa lagi, Bagas?" Terdengar suara wanita yang tak asing lagi di telinga, suara yang senantiasa membangunkan aku setiap pagi. Aku menoleh ke kanan. Aku lihat ibu melipati baju-baju kotorku yang bergantungan lalu dimasukkan ke keranjang cucian.
"Bangun sana, mandi terus anterin Ibu ke pasar. Nanti keburu siang jalanan macet," tambahnya.

Jarum jam telah menunjuk pukul lima tiga puluh pagi. Kubuka tanganku yang tergenggam, ada sebilah pisau tergeletak di telapakku. Aku terheran-heran menatapi langit-langit kamar.



You Might Also Like

    0 komentar: